PART 2: Chemical Flooding Bantu Hadapi Krisis Minyak Bumi
Chemical flooding merupakan salah satu metode EOR (Enhanced Oil Recovery) yang dilakukan dengan cara menginjeksikan zat kimia ke dalam reservoir untuk mengubah karakteristik dari fluida atau batuan. Zat kimia yang diinjeksikan ke reservoar biasanya mengandung komponen yaitu: surfaktan, ko-surfaktan, hidrokarbon, air dan elektrolit. Salah satu yang akan dibahas kali ini adalah surfaktan. Fungsi utama surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan dan mengurangi mobilitas air.
Dengan menurunkan tegangan permukaan, maka semula dua fluida yang tidak dapat saling campur kemudian dapat membentuk suatu emulsi. Penggunaan surfaktan sendiri tidak hanya terbatas dalam aplikasi perolehan minyak bumi, tetapi juga luas digunakan dalam industri kosmetik, makanan, tekstil, dan farmasi.
Untuk membentuk suatu emulsi, maka suatu surfaktan harus mencapai keadaan CMC (Critical Micelle Concentration) sehingga dapat membentuk suatu micelle.
Surfaktan yang digunakan harus sesuatu dengan isotherm adsorpsi, mengikuti hukum Henry, sehingga akan terjadi interaksi elektrostatik.
Sufaktan terdiri dari bagian kepala (hidrofilik) dan ekor (hidrofobik). Berdasarkan muatan kepalanya atau gugus hidrofiliknya, surfaktan dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: non ionic, anionic, kationik, dan zwitterionik. Berikut adalah gugus hidrofilik dari surfaktan yang umumnya digunakan.
Sedangkan bagian ekor (hidrofobik) dapat berupa rantai alkil lurus, bercabang atau rantai alkil tertutup atau gabungan dari rantai alkil lurus dan bercabang.
Selain itu ada juga jenis surfaktan gemini. Surfaktan ini memiliki CMC yang lebih rendah 100 kali dari surfaktan lain. Selain itu, surfaktan ini juga memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka yang lebih baik dibandingkan dengan surfaktan monomer sejenis. Surfaktan gemini ini juga sering disebut dengan surfaktan kembar. Hal ini dikarenakan memiliki 2 buah hidrofilik dan hidrofobik yang identic dan antar monomer surfaktannya dihubungkan oleh spacer. Berikut adalah contoh dari surfaktan gemini.
Umumnya, karakteristik dari surfaktan ditentukan oleh tiga parameter utama, yaitu: HLB, CMC, dan IFT.
HLB (Hydrophile-lyphophile balance)
HLB merupakan nilai yang digunakan untuk menunjukkan keseimbangan dari gugus-gugus yang ada pada suatu surfaktan. Ketika salinitas dari reservoir rendah, maka harus dipilih surfaktan yang memiliki nilai HLB yang rendah karena surfaktan ini akan membentuk emulsi fasa tengah. Dan jika kadar salinitas pada reservoir tinggi, maka dipilih surfaktan yang memiliki nilai HLB yang tinggi karena surfaktan yang memiliki HLB yang tinggi bersifat lebih hidrofilik dan dapat membentuk emulsi fasa tengah.
Nilai HLB dapat dihitung dengan 2 metode, yaitu sebagai berikut:
a. Metode Griffin
Perhitungan HLB menurut Griffin untuk surfaktan nonionik adalah sebagai berikut:
Setelah didapat nilai HLB, nilai tersebut mengintrepetasikan sifat dari surfaktan tersebut, yaitu sebagai berikut:
· HLB 0–3 : surfaktan merupakan agen anti busa
· HLB 4–6 : mengidintifikasikan surfaktan sebagai pengemulsi air dalam minyak
· HLB 7–9 : mengidintifikasikan surfaktan sebagai agen kebasahan
· HLB 8–18 : mengidintifikasikan surfaktan sebagai pengemulsi minyak dalam air
· HLB 13–15 : mengidintifikasikan surfaktan sebagai deterjen
· HLB 10–18 : mengidintifikasikan surfaktan sebagai pelarut
Nilai HLB = 0 adalah komponen hidrofobik dan nilai HLB = 20 adalah molekul hidrofilik.
b. Metode Davis
Metode ini dihitung berdasarkan gugus fungsi dari molekul surfaktan tersebut. Sehingga kekuatan gugus reaktif yang terikat pada molekul surfaktan dapat diperhitungkan.
CMC (Critical Micelle Concentration)
Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan dengan membentuk micelle sehingga mencapai CMC). CMC adalah konsentrasi surfaktan jenuh yang terbentuk secara spontan. Sebelum mencapai CMC, tegangan permukaan menurun tajam dengan konsentrasi surfaktan. Setelah mencapai CMC, tegangan permukaan akan mencapai konstan.
Berikut adalah skema gambaran bagaimana konsentrasi surfaktan berperan dalam adsorpsi untuk mencapai CMC.
Parameter yang berhubungan erat dengan CMC adalah Krafft temperature atau critical micelle temperature. Krafft temperature ini merupakan suhu minimum saat surfaktan membentuk micelle. Jika dibawah suhu Krafft, tidak ada nilai CMC dan micelle tidak bisa terbentuk.
IFT (Interfacial Surface Tension)
Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fluida karena memiliki sisi pengikatan hidrofilik dan hidrofobik sehingga keadaan CMC dapat diketahui. Ketika konsentrasi surfaktan dibawah CMC, penambahan surfaktan akan merubah IFT. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan yang ditambahkan, maka tegangan antarmuka akan semakin rendah hingga tidak merubah IFT. Pada saat itulah konsentrasi surfaktan sudah mencapai CMC.
Tegangan antarmuka dua fluida dalam reservoir dipengaruhi oleh konsentasi alkali, konsentrasi elektrolit dan konsentrasi dari surfaktan. Surfaktan harus mampu untuk menurunkan tegangan antarmuka cairan-cairan di reservoir sampai 10^–2 mN/m.
Dalam mengukut IFT, ada 6 metode dapat dilakukan, yaitu: kenaikan fluida dalam pipa kapiler (capillary rise method), stallagmometer method, Ring method, maximum bulk pressure method, Shape of the gas buble, dan Dynamic method.
Selain tiga parameter utama tersebut, ada juga parameter lain yang menentukan karakteristik surfaktan.
Keterbasahan (Wettability)
Keterbasahan merupakan kemampuan suatu cairan untuk menempel dan menyebar di suatu permukaan. Wettability ini dipengaruhi oleh sudut kontak yang terbentuk antara permukaaan tempat menempelnya suatu cairan dengan suatu cairan. Berikut ini adalah klasifikasi dari wettability.
Sudut kontak merupakan sudut yang terbentuk oleh suatu cairan pada batas tiga fasa, dimana gas, cairan, dan padatan berpotongan. Dalam fenomena tersebut, terjadi tiga kontak yaitu permukaan padatan dengan air (γsg), air dengan permukaan padatan (γsl), dan air dengan udara (γlg).
Kelakuan Fasa (Phase Behavior)
Uji kelakuan fasa merupakan pengujian yang terdiri dari uji stabilitas, pengamatan salinitas, dan oil scan. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi surfaktan yang dibutuhkan untuk membentuk emulsi dengan minyak.
Penambahan surfaktan menyebabkan terbentuknya emulsi antara air dan minyak yang semula tidak saling campur. Bila ditinjau dari segi ukuran, emulsi memiliki ukuran partikel yang lebih besar (>100 nm) dan stabil secara genetika. Sedangkan mikroemulsi memiliki ukuran pratikel yang sangat halus (<25 nm) dan stabil secara termodinamika. Hal ini menyebabkan pembentukan mikroemulsi lebih disukai.
Menurut Winsor, akan ada jenis fasa mikroemulsi yang terbentuk dalam kesetimbangan yang dapat diklasifikan menjadi 4 tipe, yaitu: tipe Winsor I (sistem dua fasa), tipe Winsor II (sistem dua fasa), tipe Winsor III (sistem tiga fasa), dan tipe Winsor IV (sistem satu fasa). Berikut adalah ilustrasi yang menggambarkan mikroemulsi menurut Winsor.
Pada tipe Winsor I, mikroemulsi minyak dalam air (M/A) terbentuk akibat kecenderungan surfaktan untuk larut di dalam fasa air. Fasa minyak berada di atas fasa air, sementara surfaktan ada dalam bentuk monomer pada konsentrasi yang rendah. Pada tipe Winsor II, mikroemulsi air di dalam minyak (A/M) terbentuk karena kecenderungan surfaktan untuk larut di dalam fasa minyak. Fasa air berada di atas fasa minyak. Pada tipe Winsor III, surfaktan terlarut pada kedua fasa air dan minyak membentuk tiga fasa mikroemulsi. Mikroemulsi terbentuk di antara fasa minyak dan fasa air. Fasa minyak berada di lapisan atas. Pada tipe Winsor IV, terbentuk campuran homogen antara minyak, air dan surfaktan.
Referensi :
Bogumil E. Brycki, Iwona H. Kowalczyk, Adrianna Szulc, Olga Kaczerewska and Marta Pakiet (2017). Multifunctional Gemini Surfactants: Structure, Synthesis, Properties and Applications. Licensee InTech. Chapter 4
Liu, X., Yongxiang Z., Qiuxiao L., dan Jinping N.. 2016. Surface Tension, Interfacial Tension and Emulsification of Sodium Dodecyl Sulfate Extended Surfactant. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects. 494: 201–8.
Pei, H., Zhang, G., Ge, J., Jiang, P., Zhang, J., dan Zhong, Y. (2017). Study of Polymer- Enhanced Emulsion Flooding to Improve Viscous Oil Recovery in Waterflooded Heavy Oil Reservoirs. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects, 529, 409–416.
Reningtyas, R., Mahreni. 2015. Biosurfaktan. Eksergi, Vol XII, №2. 2015 ISSN: 1410–394X. UPN Veteran Yogyakarta
Sheng, J. J. (2011). Modern Chemical Enhanced Oil Recovery : Teori and Practice. Burlington, USA: Elsevier Inc.
Winsor, P. (1954). Solvent Properties of Amphiphilic Compounds. Butterworths Scientific Publ. Ltd., London. 207.